Tuesday, September 7, 2010

Bingka Barandam di Bulan Puasa

Belum pernah terbayangkan sebelumnya bahwa saya akan menjalankan ibadah puasa tahun ini di negeri orang. Jauh dari suasana ramadhan dan gegap gempita para pemeluknya menyambut ibadah suci ini. Tidak ada spanduk besar terpampang di persimpangan jalan yang bertuliskan “Selamat Menjalankan Ibadah Puasa Ramadhan 1431 H”. Bahkan pusat-pusat perbelanjaan tidak menawarkan diskon khusus untuk bulan Ramadhan yang tinggal beberapa hari lagi, yang ada diskon pakaian untuk musim panas (summer) yang akan segera tergantikan dengan musim dingin (winter). 

Pasar wadai hanya ada di angan-angan, apalagi kue favorit saya, bingka barandam. Setiap saya membayangkan kue tersebut, setiap itu pula saya hanya bisa menelan ludah sendiri. Puasa di Eropa khususnya di Belanda memang sangat jauh dari suasana Ramadhan di Indonesia, apalagi suasana pasar wadai sebagai salah satu wisata kuliner terbesar di Kalimantan Selatan. Untuk membeli kue-pun, saya harus rela berlaku layaknya seorang detektif, sangat awas dalam mengamati ingredient (komposisi) makanan, apakah mengandung babi ataukah tidak.

Hari pertama puasa sungguh merupakan cobaan yang besar, tidak makan dan minum selama kurang lebih 16 jam, dari pukul 4.30 pagi hari sampai pukul 9.15 malam. Perut selalu bersuara ingin segera diberi makan dan tubuh terasa lemah tak berdaya. Seharian penuh hanya tergeletak di tempat tidur, berharap waktu berbuka segera tiba sambil membayangkan makanan-makanan favorit, soto banjar, nasi gambut dan sate kambing.

Pada hari itu pula, saya bersama seorang teman sekamar saya dari Kendari, Sulawesi Tenggara, tidak mengikuti perkuliahan alias bolos. Melihat kalender perkuliahan membuat hati sedikit kecut, bagaimana tidak??!! Waktunya lebaran tanggal 10 September nanti, waktunya kuliah. Tidak ada tanggal merah atau day offOh my God...... 

Keesokan harinya, beberapa teman Vietnam saya bertanya dengan nada setengah khawatir, mengapa saya harus rela berpuasa selama 30 hari? Apakah nanti saya tidak mati kelaparan? Mengapa hanya diperbolehkan makan dan minum setelah matahari terbenam? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu juga seringkali terlontar jika saya menolak makanan yang diberikan teman-teman dari negara lain dengan jawaban, “No, I am fasting”. 

Alhamdulillah, sampai sekarang saya sudah terbiasa puasa lebih dari 15 jam dan salah satu berkah ramadhan di Belanda adalah mendapat undangan berbuka puasa bersama teman-teman Indonesia dan juga dari orang Indonesia yang sudah lama menjadi warga negara Belanda. Walaupun kue favorit saya tidak ada, yang penting bisa berkumpul dengan sesama muslim Indonesia dan mencicipi masakan nusantara paling tidak sudah bisa mengobati kerinduan akan tanah air. 

Penanda waktu berbuka  adalah suara adzan magrib dari komputer, hasil download gratis internet. Jangan berharap mendengarkan suara adzan dari masjid apalagi suara lantunan ayat-ayat suci al-qur’an yang dikumandangkan saat tadaruz tiba. Juga jangan berharap makan kue bingka barandam, kecuali hanya bisa dinikmati lewat laptop kesayangan. Oleh karena itu, sepulangnya ke tanah air, kue pertama yang akan saya makan adalah bingka barandam, satu loyang penuh...lezatt...


Photo sources:
1. http://www.fnetravel.com/travel_info/english/indonesia-info/banjarmasin.html
2. http://www.mediaindonesia.com/read/2009/08/08/92904/58/9/Pasar-Wadai-jadi-Wisata-Kuliner-Banjarmasin

No comments:

Post a Comment